Pengajuan Dispensasi Kawin di PA Ambarawa Tinggi

AMBARAWA, Cakram.net – Angka pengajuan dispensasi kawin di Pengadilan Agama (PA) Ambarawa tergolong tinggi, karena bulan November 2019 saja tercatat ada 26 pengajuan. Disinyalir tingginya pengajuan dispensasi kawin menyusul terbitnya UU No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur usia pernikahan minimal 19 tahun.

Panitera Muda Hukum PA Ambarawa, Widat mengatakan UU No 1 Tahun 1974 diatur batas usia menikah bagi perempuan adalah 16 tahun, sedangkan di UU No 16 Tahun 2019 menjadi 19 tahun. Adanya aturan tersebut, sejak September 2019 terjadi lonjakan pengajuan disepensasi kawin. “Yang sebelumnya akan menikah di usia 17 tahun atau 18 tahun harus mengajukan dispensasi kawin. Jadi lonjakan pengajuan dispensasi karena pemberlakuan UU No 16 Tahun 2019,” jelasnya.

Menurut Widat, pemohon dispendasi bukan usia anak sekolah maupun berstatus pelajar, karena rata-rata sudah lulus sekolah dan berusia 17-18 tahun. Prosentase pemohon pria dan wanita perbangingannya 50 : 50. “Pemohon dispensasi nikah sebagian besar anak-anak yang melakukan seks pranikah dan dalam keadaan hamil atau menghamili,” ungkapnya.

Widat berharap, pemerintah mendorong para orang tua memberikan edukasi kepada anak-anaknya untuk memenuhi hak-hak anak sesuai UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Edukasi dapat dilakukan lewat kegiatan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau arisan dasawisma.

“Sebagian besar pemohon berasal dari wilayah Bandungan, mungkin ini karena faktor lingkungan. Para orang tua agar memperhatiakn pergaulan dan gaya hidup anak-anak mereka, kami (PA) merupakan pilihan akhir bagi orang tau maupun pasangan muda yang sudah dalam posisi mentok, tidak ada jalan,” tandasnya.

Terpisah, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Semarang, Muzzayinul Arif menilai banyaknya pengajuan dispensasi kawin akibat pengaruh gaya hidup anak muda, ditambah adanya perubahan UU Perkawinan yang membatasi usia pernikahan minimal 19 tahun. “Pengajuan dispensasi nikah sebelum usia 19 tahun biasanya ‘kecelakaan’ dulu, artinya ada persoalan serius di tingkat remaja. Perda Kabupaten Semarang layak anak diharapkan menjadi jawaban atas persoalan ini, tapi ini bukan persoalan perda saja tetapi persoalan keluarga dan pendidikan agama,” katanya.

Menurut Muzayin, sertifikasi nikah tidak perlu. Sebab, hanya melakukan pekerjaan baru dan tidak membangun solusi untuk mengurangi kenakalan remaja. “Jangan-jangan membuat munculnya kumpul kebo, bisa jadi karena masyarakat perkotaan tidak mau ribet. Orang sudah berpikir rasionalitas, tapi masih bikin aturan yang kolot,” tukasnya.

Kata Muzayin, adanya pendidikan seks bisa jadi membuat remaja ingin coba-coba melakukan hubungan seksual. Mereka juga sudah sadar dampaknya, misalnya mengorbankan sekolah dan mencari nafkah. ‘’Ada pendidikan seks tapi pengajuan dispensasi nikah trennya tinggi, berarti remaja coba-coba semakin tinggi. Peran keluarga utama, tapi konsep ekonomi kita kapitalis yang menuntut orang tua mencari nafkah tanpa kenal waktu akhirnya intensitas komunikasi dan interaksi orang tua dengan anak berkurang,” ujarnya. (dhi)

Sharing:


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *