GETASAN, Cakram.net – Dua batu berukuran besar yang diduga sebagai prasasti ditemukan di Dusun Pulihan, Desa Tajuk, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Lokasi penemuan prasasti tersebut oleh masyarakat sekitar dikenal dengan sebutan wilayah Watu Lawang.
Pada salah satu batu yang memiliki dimensi panjang 176 sentimeter, lebar 97 sentimeter, dan tebal 31 sentimeter tersebut terdapat ukiran yang menunjukan angka 1353 saka. Sedangkan batu kedua berdimensi panjang 140 sentimeter, lebar 73 sentimeter, dan tebal 34. Kemudian di tengah dua batu besar terdapat satu batu dengan ukuran panjang panjang 70 sentimeter dan lebar 36 sentimeter. Batu itu kali pertama ditemukan oleh Waring Dasrono (31), waraga Sidomulyo, Ngawen, Kota Salatiga.
“Hari Kamis pekan kemarin saya bersama Pamong Budaya Kecamatan Getasan, Setio Widodo dan pakar Jawa Kuno dari Solo, Rendra Agusta mengecek ke lokasi. Di prasasti Watu Lawang ada angka tahun, pertama kami melihatnya 1343 saka, tapi dibantu teman pakar Jawa Kuno menunjukkan angka 1353 saka,” ungkap Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Semarang, Tri Subekso, Selasa (3/12/2019).
Menurut Tri Subekso, adanya temuan prasasti Watu Lawang sangat menarik. Pihaknya akan melanjutkan kajian karena prasasti itu berpotensi ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Semarang.
“Dengan adanya angka satu tiga menunjukkan adanya suatu kurun waktu tertentu, yaitu sudah memasuki abad 15 Masehi. Temuan prasasti ini hampir bisa dipastikan benar-benar dari wilayah itu dan belum pernah dipindah. Kita bisa menarik kesimpulan di lingkungan prasasti Watu Lawang terkait dengan temuan arkeologis lainnya,” jelasnya.
Menurut dia, keberadaan prasasti Watu Lawang bisa disandingkan dengan data arkeologis dan prasasti lainnya. Sebab, di Dusun Ngadoman Desa Tajuk pernah ditemukan prasasti dengan angka 1371 saka yang sekarang berada di Museum Leiden Belanda. “Tidakjauh dari lokasi prasasti Watu Lawang ditemukan prasasti menunjukkkan angka 1369 saka, kemudian ada catatan Belanda di Desa Tajuk dalam laporan krum tahun 1914 ditemukan prasasti berangka 1360 dan 1363 yang keberadaannya belum diketahui sampai sekarang,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Tri Subekso, ada beberapa situs lainnya seperti situs Saka Wolu yang merupakan sebuah struktur bangunan pemujaan. Situs ini masih ada umpak dan beberapa komponen batuan candi. “Artinya memang di Desa Tajuk merupakan sebuah kawasan, ini sangat cocok sekali dengan penyebutan nama lokasi tempat menulis dan menyalin naskah-naskah kuno keagamaan,” katanya.
Kata Tri Subekso, dalam naskah Merapi Merbabu disebutkan di lereng utara Merbabu terdapat 3 lokasi penyalinan naskah, di antaranya sunyatara dan lembah tajuk. Sampai sekarang nama Tajuk tetap masih dipakai. “Kami akan terus melakukan kajian, banyak hal yang harus dikaji. Kami akan berkoordinasi dengan BPCB Jateng dan berbagai pihak untuk menunjang kajian,” ujarnya.
Ia meminta pemerintah desa Tajuk melakukan pengamanan prasasti dengan membuat pagar keliling. “Kita berharap kondisinya tetap aman dan terjaga. Sebab akan ada banyak data arkeologis yang bisa dikembangkan di sana,” imbuhnya. (dhi)