Tak Sekedar Nostalgia, Plintengan Juga Mendatangkan Cuan Jutaan Rupiah

SALATIGA, Cakram.net – Plintengan atau lebih sering dikenal dengan nama ketapel adalah alat permainan tradisional yang dulu populer di zamannya.

Permainan tradisional ini, semakin dilupakan akibat tergerus era digital.

Tapi siapa sangka, ketapel yang dulu biasanya menjadi mainan anak-anak untuk “menembak” mangga atau berburu hewan kecil seperti burung, sekarang mulai digemari orang-orang dewasa.

Bahkan dibeberapa daerah di Indonesia, ketapel sudah menjadi salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan.

Sejumlah klub pun dibentuk untuk mewadahi para penghobi ketapel ini.

Misalnya di Wonogiri, para pecinta ketapel ini bergabung dalam Wonogiri Slingshoot Club (WSC).

Kemudian di Solo, setidaknya ada dua klub ketapel yang cukup terkenal, yaitu SCF (Solo Catapults Forum) dan PSSC (Puma Solo Slingshoot Club).

Di Kabupaten Semarang dan Salatiga, mereka bergabung dalam sebuah klub bernama Plinthengan Serasi.

Seiring dengan makin populernya permainan ini, para pengrajin ketapel turut merasakan manisnya.

Siapa sangka ketapel kini bisa mendatangkan cuan yang tidak sedikit.

Seperti yang dilakukan oleh Yohanes Dwi Wibowo, warga Kelurahan Kutowinangun Lor Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.

Ia mulai memprodusi katapel untuk kepentinga komersial pada 2016.

Kini pangsa pasar ketapel buatannya telah merambah Malaysia, Inggris dan Amerika.

“Pada senang karena katapelnya dinilai punya karakteristik dan terasa personal sesuai pegangan karena dibuat secara manual,” kata Dwi Wibowo, Rabu 1 November 2023.

Yohanes membuat katapel sesuai pesanan. Selain dipesan oleh para penghobi, sebagian besar ketapel buatannya berpindah tangan kepada para “atlet” ketapel.

“Tapi memang paling banyak digunakan untuk kejuaraan, harganya kisaran Rp 250.000 hingga Rp 6 juta, tergantung jenis kayu dan permintaan pembeli, tingkat kesulitan atau ciri khas juga menentukan harga,” ujar Dwi Wibowo.

“Untuk membuat katapel itu penyelesainnya juga tidak tentu. Bisa dua jam selesai, tapi ada juga yang enam bulan belum tuntas. Apalagi kalau pembeli banyak permintaan, seperti minta jenis kayu khusus, warna kayu tua, dan lainnya,” sambungnya.

Permintaan pembeli yang ‘paham’ katapel, lanjutnya, biasanya memerhatikan lebar frame, panjang dan lebar tip, serta ukuran karet pelontar.

“Pegangan disesuaikan, pemain pakai tangan kanan atau kiri, bentuknya harus pas dengan hal tersebut,” jelasnya.

Dia selama ini membuat katapel dengan bahan utama kayu khusus yang “bertuah”. Seperti gaharu, stigi, dan cendana.

Menurut Dwi Wibowo, pangsa pasar ketapel kedepan masih cukup menjanjikan.

Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kejuaraan atau turnamen katapel yang digelar diberbagai daerah.

Meski demikian, para pecinta ketapel masih harus berjuang keras untuk mempopulerkan olahraga ini agar semakin dicintai masyarakat khususnya anak muda.

“Sebagai olahraga, memang antusias masyarakat sangat baik, meski tetap perlu disosialisasikan,” ungkap Dwi.

“Pegiatnya juga dari berbagai kalangan, karena olahraga ini mudah, murah, dan siapa saja bisa dimainkan,” pungkasnya. (*)

 

Bagikan:


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *